Neraka Berwarna Biru: BUMI!
Dari luar angkasa, bumi terlihat
bagaikan sebuah planet anggun berwarna biru, sendirian...mengambang di antara
planet-planet lain, seolah menawarkan kedamaian dan kesejahteraan. Hmmm...
Siapa sangka, dalam kedamaian birunya, ternyata bumi selalu bergejolak. Gejolak
energi alam mahadahsyat terus membentuk bumi agar menjadi tempat hidup bagi
seluruh makhluk. Bumi adalah setitik debu di alam jagad raya yang menawarkan
tempat berbagi bagi kehidupan. Bumi mestinya dapat menjadi pantulan citra paradise
yang selalu hadir dalam imajinasi semua bangsa: tempat yang indah,
sejahtera, dan tanpa derita. ---Tanpa bermaksud SARA dan mendiskriminasi,
karena dulu saya pernah sekolah di salah satu sekolah Katolik, sedikitnya saya
tau tentang pelajaran agama Katoliik karena saya dipaksakan untuk mengikuti
pelajarannya di dalam kelas walopun saya beda agama---(Bahkan setiap saat
digumamkan dalam doa Bapa Kami oleh pemeluk Kristiani: “Datanglah
kerajaan-Mu......bla bla bla”. Mengapa kita tidak memberi kesempatan kepada
Tuhan untuk menjadikan diri kita masing-masing pembuka jalan bagi
kerajaan-Nya???? Sekarang juga? Dengan menjauhkan segala bentuk kekejaman dai
perilaku kita??? Hmmmh... Aneh bukan?). Wellyea... Religion is a fraud n
poison!
Planet Bumi berwarna biru terlihat cantik, sepi di ruang angkasa. Di
sanalah segala drama kehidupan terjadi: sedih-gembira, sakit-sehat,
benci-cinta. Bumi adalah planet sebesar debu di angkasa yang seharusnya damai
dan menyenagkan. Namun, bagi sebagian makhluk hidup, planet ini adalah mimpi
paling buruk. Mereka, yakni para hewan ternak, sengaja dihidupkan dan akhirnya
sengaja dibunuh oleh spesies dominan: MANUSIA!
Pada saat kelahirannya bumi terlihat mengerikan.
Badai gas, semburan lahar gunung muda, hujan meteor, dan gempa dahsyat (dalam
pelajaran Geografi yang saya dapat waktu sekolah dulu) menjadi pameran besar
kerja sistem energi pembentuk bumi. Ketika kemudian semua menjadi lebih tenang
dan seimbang, sistem energi itu terus bekerja sebagai pendukung kelangsungan
“hidup” bumi.
Tetapi, energi alam yang
membentuk kehidupan itu telah dikacaukan oleh makhluk yang tidak pernah tahu
berterima kasih kepada alam. Spesies yang memiliki nama populer
“m-a-n-u-s-i-a”, yang memiliki sifat spesiesis, memandang dirinya
sebagai spesies paling unggul dan berhak menguasai spesies lain, duduk nyaman
di tribun antroposentrisme dan menyaksikan penderitaan spesies
lain--tanpa peduli, konstruksi berpikir manusia inilah yang mendeskripsikan apa
yang disebut Spesiesisme. Sama halnya dengan seksisme, rasisme, homofobik yang
mendefinisikan sikap pendiskriminasian dan sistem dominasi atas individu
terhadap individu lainnya. Spesies bernama manusia, itulah kita, gemar menulis
sejarahnya sendiri, penuh dengan kesombongan dan kecongkakan. Kegemaran yang
paling disukai adalah “melepaskan energi negatif”; menebarkan rasa sakit,
ketakutan, penderitaan, penindasan, eksploitasi di antara spesies sendiri dan
lebih-lebih kepada spesies lain. Manusia adalah makhluk yang lupa (karena
seharusnya dia dapat mengingat) bahwa bumi dapt terus ada tanpa manusia, tetapi
manusia tidak dapat ada tanpa bumi. Bumi tidak memerlukan manusia, tetapi
manusia memerlukan bumi.
Menurut Peter Singer dalam
bukunya Animal Liberation manusia menentukan
perasaan makhluk lain dengan kacamata manusia. Manusia dapat mengatakan bahwa
elang memiliki pandangan yang lebih tajam daripada manusia, anjing mempunyai
penciuman yang lebih tajam daripada manusia, dan sebagainya, tapi mengabaikan
kemungkinan bahwa hewan dapat mengembangkan saraf peraba yang lebih sensitive daripada
milik manusia, sehingga mereka dapat merasakan sakit yang lebih hebat daripada
manusia. Demikian juga, manusia menuntut hewan memiliki bahasa dan pikiran yang
sama agar dapat hidup sederajat. Penelitian menunjukkan bahwa babi memiliki
kecerdasan setara dengan anak manusia berumur tiga tahun dan dapat hidup
mandiri. Tapi, hanya karena tidak dapat berbicara dengan bahasa manusia, babi
boleh dibunuh. Sebaliknya, betapa pun tak berdayanya seorang manusia (cacat
mental, tidak dapat mandiri), kita tidak mungkin mencabut hidupnya karena dia
adalah anak manusia!!
Kita dapat mengabaikan kengerian
neraka bumi pada saat awal pembentukannya karena kita memang belum ada. Ngeri belum
terdefinisikan. Sakit belum dikenal. Namun, justru ketika bumi siap mewadahi
kehidupan, termasuk kehidupan makhluk-makhluk berdaging dan bersaraf, saat
itulah energy ketakutan, kengerian, dan kesakitan menemukan bentuknya. Para makhluk
saling menyakiti dan membunuh. Manusia, yang secara biologis termasuk binatang,
mengembangkan cara berpikir yang lebih maju daripada binatang lain, kemajuan
yang menjadi malapetaka besar bagi makhluk lain, termasuk perang, perebutan
kekuasaan, uang yang berujung pada kesakitan, kengerian dan kematian. Spesies manusia
adalah satu-satunya binatang yang dengan sadar melakukan itu semua dan dengan
sadar mengeksploitasi spesies lain (dan bahkan spesiesnya sendiri), dengan
sadar pula mengeksploitasi hewan demi kenikmatan lidah mereka, bukan untuk
bertahan hidup. Selera manusia yang tidak alami nyata-nyata telah merusak system
energy bumi, menyebabkan pemborosan dan kerusakan alam.
Mari kita bayangkan melihat bumi
dari ruang angkasa: planet biru yang kesepian, yang di dalamnya penuh dengan energy
ketakutan; planet neraka berwarna biru. Planet tempat hewan dipaksa lahir di
peternakan dan dipaksa mati di rumah jagal/ RPH. Kelahiran yang seharusnya
berisi energy keriangan hidup diubah menjadi kematian paksa yang menebarkan energi
kesedihan, dendam, dan kebencian. Planet neraka biru yang mungkin menyebabkan
penyesalan bagi para hewan: mengapa mereka disiksa, dipaksa mampir ke sini? Dan,
para hewan ternak yang lahir sebagai pemakan tumbuhan (herbivora)pun diajari,
mmmmh….dipaksa untuk menjadi pemakan tepung daging, tulang, dan bulu sesamanya.
(75.000 ton tepung daging, tulang, dan bulu impor untuk pakan ternak yang
terhambat di pelabuhan Indonesia berpotensi merugikan 112,5 milyar rupiah per
bulan menurut Kompas (14 Juni 2008)di
artikel “Bahan Baku Pakan Tertahan di Gudang” dan “Lampu Kuning untuk
Perunggasan Nasional” Kompas (16 Juli
2008).)
Sebagian dari kita mungkin
beranggapan bahwa masalah “bumi menjadi neraka bagi spesies selain manusia”
tidak perlu dibahas dan dibesar-besarkan. Namun, bagaimana dengan data yang
menyebutkan bahwa rata-rata setiap dua-tiga detik satu anak di dunia meninggal karena kelaparan? (menurut www.eatveg.com).
Bagaimana dengan data yang
menyebutkan bahwa 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun meninggal
setiap tahun akibat kekurangan gizi? Lebih dari tiga perempatnya terjadi di 20
negara miskin. Di Jawa Tengah, 15.980
anak balita menderita gizi buruk (www.kompas.com; 16 Maret 2008). Mereka sepenuhnya
berhak bertanya, mengapa mereka dilahirkan,. Jika data di atas disandingkan
dengan data bahwa pada tahun 2001 McDonald (dalam film dokumenter Super Size Me)menghabiskan dana 1,4
milyar dolar AS (setara dengan 13
triliun rupiah) hanya untuk promosi. Maka sekali lagi para anak miskin memiliki
hak sepenuhnya untuk bertanya, dunia macam apa yang harus mereka singgahi ini. Saat
ini di dunia diperkirakan ada 1,1 milyar
orang yang kegemukan (berlebihan makan) dan 1,1 milyar orang kurus kering (kurang gizi)—(www.worldwatch.org/press/news/2000
/03/04). Kasus obesitas tidak dimonopoli oleh negara maju, namun juga
ditemukan di Negara berkembang tempat junk
food outlets merajalela.
Selera akan kenikmatan membutakan
mata-pikiran dan mata-hati manusia, menjadikan manusia boros energy dan merusak
alam. Manusia sibuk mencari pembenaran bagi tindakan mereka yang tak masuk akal
dalam memakai energy dan merusak ekosistem. Demi melanggengkan selera akan
kenikmatan, manusia rela mengkhianati logika mereka sendiri; kemampuan
berlogika yang dengan congkak mereka yakini mendiskriminasi spesiesnya dengan
spesies lain. --Karel