BOOKS / LITERATURES

===READ N' FIGHT!!===


ANIMAL LIBERATION (-Peter Singer)



Dalam buku yang berbahasa Inggris ini Peter Singer mengupas habis tentang Animal Liberation, dengan konten2 yang cukup lengkap sebagai bahan kajian, diskusi dan perenungan bagi para aktivis juga menjadi sebuah media pengenalan tentang Animal Liberation kepada masyarakat awam. Dari mengenai "All Animals Are Equal" tentang prinsip2 etikal "equality" antara manusia dan non-human-animal dikupas habis dengan gaya bahasa yang sederhana tapi cukup mudah dipahami, dimana prinsip "equality" juga berlaku terhadap hewan bukan hanya terjadi dalam interaksi manusia dengan manusia. Pembahasan tentang industri peternakan, vivisection (animal-testing), bagaimana kita mengambil sikap untuk menjadi vegetarian dan vegan, sejarah tentang munculnya dunia "spesiesisme", dan list kelompok-kelompok aktivis Animal Rights juga dicantumkan dalam buku ini. Buku yang menjadi basic pemikiran tentang apa itu Animal Liberation dan semua permasalahannya. Buku ini telah menjadi "handbook" bagi para aktivis pecinta dan pembebasan hewan. Sayang buku ini tidak dijual di pasaran...saya mendapatkan buku ini dari seorang sahabat dari Spanyol yang juga aktif dalam aksi2 A.L.F (Animal Liberation Front)....dan juga salah satu anggota band Thrash-Screamo-Metal JUSTICE DEPARTMENT yg sangat radikal dan "no compromise" meng-koarkan animal abuse. Jika kalian berminat bisa menghubungi saya untuk mengcopy atau bisa di download di sini.



EATING ANIMALS (-Jonathan Safran Foer)




....Saatnya kita menyadari kehidupan di balik santapan kita....

Bayangkan diri anda menghadapi satu porsi steak yang masih mendesiskan asap dan mengeluarkan bau daging setengah gosong yang mengguyur lidah anda dengan air liur. Hidangan menggiurkan itu merupakan akhir dari mata rantai bisnis peternakan daging dunia yang menyimpan sejuta kisah pembantaian sekaligus menyumbangkan 40% lebih besar kepada pemanasan global ketimbang seluruh transportasi di bumi. Bisa dikatakan peternakan penyebab nomor satu Global Warming.
Lewat buku ini, Jonathan Safran Foer menuturkan dengan caranya yang jahil, kocak, sekaligus filosofis makna makanan. Ada teror, harga diri, rasa terima kasih, balas dendam, kegembiraan, rasa malu, agama, sejarah, dan cinta di dalamnya. Bahwa manusia mendapat hak istimewa untuk bisa memilih makaan apa saja di bumi ini bukan berarti ia layak untuk memperlakukan setiap makhluk, terutama hewan sebagai sekedar santapan atau makanan tanpa menyadari bahwa mereka layak diperlakukan lebih dari korban sajian.
Buku ini bukan tentang provokasi menjadi vegetarian/vegan. Jonathan Safran Foer lebih menempatkan buku yang ditulisnya dengan sejumlah riset dan investigasi secara langsung, untuk mengungkap praktek-praktek peternakan di U.S yang sudah menyimpang jauh dari tradisi peternakan keluarga yang memperlakukan hewan secara lebih bersahabat.

 

SAYA VEGAN (I'M VEGAN) (-Prasasto Satwiko)


Apakah pembaca pernah mendengar istilah EPW (Einstein Pain Waves)? Dalam bahasa Indonesia artinya, “Gelombang Nyeri Einstein.” Trio saintis berkebangsaan India meneliti frekuensi anisotropis akustik tersebut. Menurut M.M. Bajaj, Ibrahim, dan Vijayraj Singh, semua binatang melengkingkan getaran kesakitan tatkala disembelih secara brutal di rumah jagal (halaman 137).
Lewat buku ini, secara kritis Prasasto Satwiko memaparkan dampak makro BIS (Brutal Intense Slaughtering) alias pembantaian sadis intensif itu. Ternyata gempa bumi dapat terpicu oleh EPW juga. Bukti empirisnya tatkala Eropa dilanda wabah sapi gila (mad cow).
Saat itu, jutaan sapi dimusnahkan secara massal. Alhasil, getaran EPW memberi tegangan ekstra pada rekahan bebatuan dan lempeng kerak bumi. Gempa dahsyat di Italia dan Afganistan berhubungan erat dengan penjagalan kolektif tersebut.
Itulah salah satu alasan penulis menjadi vegan. Guru Besar di Universitas Atmajaya Yogyakarta itu hanya menyantap menu nabati sejak tahun 2006. Menurutnya, dengan menjadi vegetarian manusia dapat turut berkontribusi bagi kelestarian alam. Sebab, ada korelasi erat antara isi piring di meja makan dengan masalah pemanasan global dewasa ini.
Buku Saya Vegan memuat data mengejutkan. Ternyata, industri peternakan, daging, telur, dan produk hewani lainnya melepaskan 60% N2O ke atmosfer bumi (UN News Center: 2006). Bersama karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4), dinitrogen oksida, ketiganya merupakan anasir Gas Rumah Kaca (GRK) pemicu global warming (halaman 65).
Riset duo ilmuwan David Pimental dan Robert Goodland kian menghentakkan kesadaran ekologis manusia. Menurut penelitian mereka, untuk setiap 1 kg daging sapi dibutuhkan 100.000 liter air. Praktisi vegetarian dapat makan dari areal pertanian seluas 0,06 hektar, sedangkan para pemakan daging membutuhkan 1,3 ha lebih. Artinya, jika seseorang berhenti melahap 1 pon daging berbanding lurus dengan penghematan air untuk mandi selama setahun.
Penulis menyorot pola konsumsi nabati dari pelbagai sisi. Antara lain “Menu Nabati dan Kesehatan” (halaman 43-64), “Menu Nabati dan Ekonomi” (halaman 101-118), “Menu Nabati dan Agama” (halaman 153-167), “Menu Nabati dan Lingkungan (halaman 65-94), dst. Dari aspek ekonomi, misalnya, perlu dipertimbangakn ihwal biaya tersembunyi (hidden cost). Ternyata pola makan berbasis hewani relatif mahal. Ini terkait ongkos pengobatan di rumah (RS) akibat pola makan yang tak sehat.
Prasasto Satwiko juga menguak dampak pembalakan liar (illegal logging). Areal hijau di Amaz-on diubah menjadi tanah gersang Amaz-off. Akibatnya, limbah peternakan mencemari tanah. Sedangkan pada wilayah perairan (illegal fishing), eksplotasi tak terkendali dengan bahan peledak menyebabkan terumbu karang (great barrier reef) seluas 344,400 km2 terancam punah (World Wildlife Fund (WWF): 2012).
Buku setebal 211 halaman ini kaya perspektif, informatif, dan vaild datanya. Tema sentralnya mengajak pembaca mengurangi ketergantungan berlebih pada makanan hewani. Kenapa? Karena kebutuhan nutrisi kita bisa diperoleh dari asupan nabati. Antara lain berupa padi-padian, sayur-sayuran, buah-buahan, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Pungkasnya, penyitir pendapat Kak Seto, “Menjadi vegan bukan hanya demi kesehatan dan kelestarian alam, tetapi sekaligus membangun karakter cinta damai dan jauh dari kekerasan.”