Sekarang ini banyak sekali jenis-jenis makanan yang
berasal dari daging hewan yang dibuat sedemikian rupa dengan nama-namanya yang
beraneka ragam, sampai-sampai banyak yang mungkin kurang familiar. Mulai dari
yang terkenal seperti ‘opor ayam’ sampai model menu luar negeri (jenis masakan
Eropa atau Jepang). Dari apa yang ditangkap ketika orang-orang melahap beberapa
makanan tersebut, mereka rata-rata berpendapat bahwa makanan tersebut enak, atau
bahkan lezat. Tetapi apakah mereka sadar darimanakah asal hidangan tersebut? Dan
apakah mereka sadar bahwa kelezatan yang mereka dapat adalah hasil dari
penindasan kehidupan yang lain? Dan yang lebih terpenting lagi, apakah mereka
sadar bahwa apa yang sebenarnya mereka makan adalah mayat / bangkai dalam
'bentuk lainnya'?
Setelah sebelumnya seseorang pada kehidupan sehari-hari bertingkah-laku berdasarkan pada moral, agama, dan etika, yang tentunya melawan segala bentuk penindasan, kekerasan, dan kerakusan, bagaimana mungkin untuk kemudian seseorang bisa memberi nama bagian-bagian dari bangkai hewan sebagai daging dan makanan yang lezat, yang sebelumnya tentunya melalui proses yang sangat menakutkan bagi setiap makhluk hidup manapun yang dapat berpikir dan mempunyai system syaraf. Suatu proses sebelum ‘makanan lezat yang berasal dari mayat’ tersebut dihidangkan; hewan ditarik, diseret-seret, dipukuli agar menurut seperti apa yang diperintahkan si penjagal, sampai akhirnya ditebaslah lehernya untuk dibunuh. Pekikan, raungan, jeritan, maupun rontaan hewan tersebut merupakan sebuah tanda bahwa dia tidak mau dibunuh, apapun alasannya.
Ketika manusia berhubungan dengan moralitas, etika, atau nilai-nilai keagamaan, adakah hal yang hilang ketika kerakusan manusia menyelimuti akal sehat dan perasaan terdalamnya sebagai sebuah makhluk yang bisa berpikir paling sempurna, dan (katanya) berperasaan? Apakah anda rela semua itu dikotori dengan darah dan raungan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan diri mereka dikorbankan untuk dimakan oleh manusia. Jangan pernah berbohong bahwa bumi ini tidak mampu menghidupi manusia. Banyak sekali bahan makanan lain yang bisa dikonsumsi tanpa melibatkan pembunuhan hewan dan tentunya lebih menyehatkan. Seharusnya manusia merasa malu ketika memulai memakan hidangannya dan diketahui di atas piringnya selain terdapat makanan lezat ‘yang sebenarnya’ seperti bayam, selada, wortel, tempe, dan tahu, tetapi ternyata terkotori oleh sebuah mayat yang juga berada satu piring di dekat makanan-makanan lezat ‘yang sebenarnya’ tersebut.
Bumi menyediakan banyak sekali bahan-bahan makanan yang bisa dikonsumsi oleh manusia dan yang tidak melibatkan pembunuhan pada hewan. Dan hal itu sebenarnya disadari oleh manusia. Manusia sering menyebut bahwa singa, macan, ular, beruang, adalah makhluk ganas, tetapi sebenarnya diri manusialah yang ganas. Bahkan dari sisi kekejaman, manusia sama kejamnya atau bahkan banyak manusia yang lebih kejam dibandingkan hewan-hewan tersebut. Apa yang dilakukan oleh hewan-hewan dalam pembunuhan sesamanya adalah karena alasan untuk bertahan hidup, dan karena secara alamiah memang daginglah makanan dari hewan-hewan carnivore tersebut. Tetapi tidak bagi manusia. Manusia dilahirkan tidak untuk memakan daging dilihat dari komposisi gigi, maupun anatomi lainnya, seperti jenis dan panjang usus. Akan tetapi apabila manusia memang bersikeras menganggap bahwa mereka dilahirkan secara alamiah untuk memakan daging. Maka bunuhlah hewan-hewan tersebut dengan tanpa senjata. Jatuhkan pisau, pedang, belati, panah, atau kampakmu di atas tanah. Dan mulailah berburu hewan dengan tangan kosong. Tetapi apabila seorang manusia takut melakukan hal itu, tidak berani mengambil nyawa hewan tersebut secara paksa, dan hanya diam saja menunggu hewan-hewan tersebut dijagal untuk menjadi ‘mayat’ yang siap masak, lalu mengapa manusia melawan alam dengan makan makhluk bernyawa tersebut?
Setelah sebelumnya seseorang pada kehidupan sehari-hari bertingkah-laku berdasarkan pada moral, agama, dan etika, yang tentunya melawan segala bentuk penindasan, kekerasan, dan kerakusan, bagaimana mungkin untuk kemudian seseorang bisa memberi nama bagian-bagian dari bangkai hewan sebagai daging dan makanan yang lezat, yang sebelumnya tentunya melalui proses yang sangat menakutkan bagi setiap makhluk hidup manapun yang dapat berpikir dan mempunyai system syaraf. Suatu proses sebelum ‘makanan lezat yang berasal dari mayat’ tersebut dihidangkan; hewan ditarik, diseret-seret, dipukuli agar menurut seperti apa yang diperintahkan si penjagal, sampai akhirnya ditebaslah lehernya untuk dibunuh. Pekikan, raungan, jeritan, maupun rontaan hewan tersebut merupakan sebuah tanda bahwa dia tidak mau dibunuh, apapun alasannya.
Ketika manusia berhubungan dengan moralitas, etika, atau nilai-nilai keagamaan, adakah hal yang hilang ketika kerakusan manusia menyelimuti akal sehat dan perasaan terdalamnya sebagai sebuah makhluk yang bisa berpikir paling sempurna, dan (katanya) berperasaan? Apakah anda rela semua itu dikotori dengan darah dan raungan dari pihak-pihak yang tidak menginginkan diri mereka dikorbankan untuk dimakan oleh manusia. Jangan pernah berbohong bahwa bumi ini tidak mampu menghidupi manusia. Banyak sekali bahan makanan lain yang bisa dikonsumsi tanpa melibatkan pembunuhan hewan dan tentunya lebih menyehatkan. Seharusnya manusia merasa malu ketika memulai memakan hidangannya dan diketahui di atas piringnya selain terdapat makanan lezat ‘yang sebenarnya’ seperti bayam, selada, wortel, tempe, dan tahu, tetapi ternyata terkotori oleh sebuah mayat yang juga berada satu piring di dekat makanan-makanan lezat ‘yang sebenarnya’ tersebut.
Bumi menyediakan banyak sekali bahan-bahan makanan yang bisa dikonsumsi oleh manusia dan yang tidak melibatkan pembunuhan pada hewan. Dan hal itu sebenarnya disadari oleh manusia. Manusia sering menyebut bahwa singa, macan, ular, beruang, adalah makhluk ganas, tetapi sebenarnya diri manusialah yang ganas. Bahkan dari sisi kekejaman, manusia sama kejamnya atau bahkan banyak manusia yang lebih kejam dibandingkan hewan-hewan tersebut. Apa yang dilakukan oleh hewan-hewan dalam pembunuhan sesamanya adalah karena alasan untuk bertahan hidup, dan karena secara alamiah memang daginglah makanan dari hewan-hewan carnivore tersebut. Tetapi tidak bagi manusia. Manusia dilahirkan tidak untuk memakan daging dilihat dari komposisi gigi, maupun anatomi lainnya, seperti jenis dan panjang usus. Akan tetapi apabila manusia memang bersikeras menganggap bahwa mereka dilahirkan secara alamiah untuk memakan daging. Maka bunuhlah hewan-hewan tersebut dengan tanpa senjata. Jatuhkan pisau, pedang, belati, panah, atau kampakmu di atas tanah. Dan mulailah berburu hewan dengan tangan kosong. Tetapi apabila seorang manusia takut melakukan hal itu, tidak berani mengambil nyawa hewan tersebut secara paksa, dan hanya diam saja menunggu hewan-hewan tersebut dijagal untuk menjadi ‘mayat’ yang siap masak, lalu mengapa manusia melawan alam dengan makan makhluk bernyawa tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar